gravatar

Twigigt dan kakek setengah abad (1)

Suara samar-samar dari rerantingan pohon Chanum yang saling bergesekan akibat tiupan angin menjadi satu-satunya suara yang dapat terdengar hingga kedalam rumah kayu besar milik orangtua Franky. Kegelapan malam yang mulai menampakkan diri di luar pun seolah tidak memberi arti lebih pada rumah yang tampaknya memang telah akrab dengan sistem pencahayaan minim tersebut. Praktis Franky yang masih tertidur hanya ditemani sebatang lilin , itupun hanya tinggal tersisa setengahnya karena telah menyala sejak dari pemuda itu mulai berbincang dengan Tn. Panini tadi pagi.


Angin dingin yang berhasil menerobos masuk kedalam ruangan dari celah-celah cendela  berhembus perlahan, membuat suasana menjadi semakin nyaman untuk beristirahat diruangan itu. Di atas kursi empuk berwarna magenta, Franky terlelap dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Nampaknya pemuda itu tidak terlalu menikmati tidurnya kali ini. Tak jarang tubuh Franky menggeliat kekanan dan kekiri seolah mencoba menghindari sesuatu. Kemudian layaknya orang yang baru saja lolos dari jeratan pasir hisap, mendadak tubuh Franky terperanjat dari kursi. Mata biru pemuda itu menatap tajam kegelapan didepan seakan dapat melihat apa yang ada dibaliknya. Jantung yang masih berdetak kencang serta tubuh yang mulai bergetar hebat membuat Franky serasa seperti baru saja dihajar sekawanan preman yang sering mangkal didepan sekolahnya.

Pemuda itu mencoba mendudukkan tubuhnya kembali dan berusaha menenangkan pikirannya. Namun agaknya hal tersebut sia-sia karena rasa lapar yang teramat sangat membuatnya tidak dapat berpikir jernih. Pemuda itu baru saja melihat -dalam mimpinya- sekumpulan binatang menyerupai serigala tapi bermata delapan sedang menyerang seorang gadis bergaun biru laut. Seolah sedang menjaga sesuatu dibelakangnya, gadis itu tidak berupaya sama sekali untuk menghindar dari serangan para serigala hitam yang membabi buta. Alhasil meskipun dapat melumpuhkan beberapa dengan pancaran sinar putih yang melesat tajam keluar dari ujung-ujung jarinya, namun pada akhirnya gadis itu tak mampu mempertahankan diri. Ia roboh, jatuh ketanah yang hitam dan dingin. Franky merasa tak asing dengan perawakan gadìs tersebut. Namun kepalanya tidak berhasil mendapatkan apapun tentang gadis yang -dalam mimpinya- terbaring kaku didepannya. 

Didalam kekalutannya, tiba-tiba Franky mendengar suara langkah kaki. Langkah yang terkesan berat dan sedikit diseret membuat pemuda itu mengesampingkan mimpinya untuk beberapa saat. Suara itu terdengar semakin keras sehingga mengacaukan keheningan malam yang telah terjalin dirumah tersebut. Franky berdiri mengambil sikap waspada karena ia merasa suara itu semakin mendekati ruangannya. Suara langkah itu semakin mendekat dan berhenti tepat didepan pintu ruangan. Franky sempat melihat cahaya hijau terang yang muncul dari celah pintu bagian bawah sebelum akhirnya menghilang saat pemuda itu hendak mengamatinya.

Franky mulai merasa ngeri, terlebih ia baru saja diberitahu pagi tadi bahwa ada banyak makhluk kegelapan yang akan mencoba memburu -darahnya. Serta kenyataan tentang ia baru saja terbangun dari mimpi yang sangat buruk, menambah sempurnanya kengerian yang ia rasakan. Seiring dengan hembusan hawa dingin yang tak lagi menenangkan dan lebih terasa menusuk hingga ke tulang, bulu kuduk Franky perlahan berdiri seolah mengerti dan mendukung sepenuhnya atas perasaan pemuda berambut perak itu. Kemudian ketika seluruh perhatian Franky tertuju kearah pintu masuk, ia mendengar suara gemuruh aneh yang berasal dari balik bawah lantai ruangan. Suara tersebut bergerak pelan melewati tempat Franky berdiri, terus bergerak ke bawah perapian lalu berhenti. Pandangan pemuda itu pun beralih dari pintu ke tempat perapian yang gelap, memajukan kepalanya agar lebih jelas melihat. Namun yang ia temukan hanya setumpuk abu kering yang tersamar oleh kegelapan. Merasa kurang puas dengan hasil pengamatannya, Franky melanjutkan kesisi yang lebih dalam dari perapian itu dan yang ia temukan tidak lebih dari sekedar kegelapan.
 
Secara tidak terduga, cahaya hijau seterang lampu pijar menyembul dari balik abu lalu melesat keatas dengan suara berisik bak lolongan serigala. Sontak Franky yang berdiri beberapa inci dari perapian berteriak sekuatnya. Tubuhnya melompat kebelakang -ke atas kursi baca ayahnya- dengan sendirinya. Jantungnya berdegup sangat kencang seolah dapat terlempar hingga ke kerongkongannya sewaktu-waktu. Pemuda itu meringkuk gemetaran diatas kursi dengan mata yang terus memandang cahaya diatasnya.

Berputar cepat di langit-lagit ruangan beberapa kali sebelum akhirnya turun perlahan dengan anggunnya ke lantai, membuat Franky mengerti bahwa yang dilihatnya adalah segumpal asap yang dapat mengeluarkan cahaya kehijauan. Suara berisik yang berasal dari asap tersebut pun akhirnya berhenti ketika mencapai lantai ruangan. Kemudian dari dalam gumpalan muncul sesosok tubuh, tinggi terbalut jubah lusuh berwarna cokelat lumpur. Sepasang tangan kurus kemudian menyeruak keatas diantara jubahnya. Layaknya orang yang baru saja mempersembahkan sebuah pertunjukan, sosok itu mendongak keatas sambil memejamkan matanya dan terkekeh penuh kepuasan.

''Si...siapa kau?'' tanya Franky dari atas tempat duduknya.

''Helfre... Helfre yang perkasa tentu saja,'' jawab sosok tersebut dengan ringan diikuti kekehan kecil.

Beberapa detik kemudian, tubuh sosok itu terhenyak. Ia seperti baru saja menyadari sesuatu. Dua bulatan yang sedari tadi tertutup oleh keriput tiba-tiba membelalak seolah ingin keluar dari tempatnya. Sosok itu menatap tajam dari balik hidung terongnya kearah pemuda berambut perak yang tampak gemetaran diatas kursi tepat didepannya.

''Siapa kau?''

''Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Kau bukan penduduk desa ini kan?''

''Kau...kau pasti penyusup..'' Helfre terlihat terkejut mendengar kata-katanya sendiri sehingga tanpa sadar ia memundurkan kakinya beberapa langkah.

''Tidak.. Bukan.. Aku bukan penyusup,'' kata Franky mencoba menjawab diantara kebingungannya.

''Lalu kau siapa?''

''Dan kenapa kau bisa berada di rumah milik tuanku?'' tanya Helfre setengah berteriak.

''Apa kau bilang tadi... Rumah milik tuanmu?''

''Ya. Tuan Hegarty adalah tuanku. Kenapa? Kau gemetaran mendengar namanya bukan, penyusup muda?!'' seru Helfre dengan suara seraknya.

''Sudah kubilang, aku bukan penyusup... Namaku Frank... Frank Hegarty,'' kata Franky sambil menurunkan kedua kakinya dari atas kursi dan berusaha duduk dengan sewajarnya.

''Oh, Frank Hegarty ya... Tunggu... Kau bilang namamu Hegarty... Frank Hegarty?'' kata Helfre yang tiba-tiba terkejut  dan menampilkan mimik muka yang aneh.

Franky mengangguk pelan tanda mengiyakan.

''Kau... Kau benar-benar Frank Hegarty... Putra tunggal keluarga tuanku?'' Tanya Helfre yang kini lebih menyerupai lolongan serigala. Tampak gusar, dia melayang kekanan dan kekiri dengan nafas yang tertahan.

''YA.. AKU FRANK HEGARTY..'' Franky dengan jelas mengatakannya.

Seketika tubuh Helfre membeku mendengar jawaban Franky. Mulutnya menganga. Pandangannya hampa namun tidak beralih dari pemuda itu. Muka keriputnya mendadak pucat pasi.

Setelah beberapa saat, Helfre kemudian bergerak pelan. Berjalan menyeret jubahnya menuju tempat perapian. Menyalakan api dengan menjentikan jari-jari kurusnya. Dan ruangan yang tadinya terbenam oleh kegelapan pun dalam sekejap telah berganti terang dan hangat. Helfre lalu beralih kesisi atas perapian. Tampak sedang mencari sesuatu dalam deretan pigura yang tertata rapi. Akhirnya dia menemukan, sebuah foto dalam bingkai kecil diambilnya. Dia tatap foto tersebut sedalam yang ia bisa.

Tampak sedih, Helfre bergerak mendekati Franky. Perlahan berjalan mengitari kursi sambil bersikap seolah sedang mengenang sesuatu. Memandang wajah pemuda yang tadi sempat dibentaknya dari dekat, kemudian tersenyum lebar.

''Aku tak mengira kita dapat bertemu lagi tuan muda,'' kata Helfre yang telah kembali dengan suara seraknya.

Franky hanya tersenyum. Sebenarnya dia tidak begitu mengerti apa yang dimaksud Helfre. Dia juga tidak terlalu nyaman karena deretan gigi tidak teratur dari pria tua itu berada terlalu dekat dengannya. Membuat Franky menjadi gugup dan kikuk.

Kemudian foto itu disodorkan kepada Franky. Sebuah Foto yang terlihat cukup usang. Didalamnya, seorang pemuda gagah paruh baya berambut perak mengkilat dan seorang wanita berparas manis dengan rambut ikal yang terurai sebahu sedang berdiri berdampingan sambil menyuguhkan senyum ramah mereka. Diantara keduanya tampak seorang bayi sehat  sedang melayang-layang sambil tertawa penuh semangat keceriaan.

Franky mengenali foto tersebut. Itu ayah dan ibunya. Dan bayi yang melayang itu adalah dirinya. Sesaat ada semacam kegembiraan yang menyesakkan dada pemuda itu, mencuat begitu saja dari dalam hatinya ketika menatap gambar tak bergerak dari keluarganya tersebut.  Pemuda itu marasa menemukan satu lagi serpihan kenangan tentang orangtuanya. Tapi yang sedikit membingungkan kenapa dia bisa melayang-layang sendiri. Apakah orangtuanya yang membuatnya begitu agar terlihat lucu. Atau dia melakukannya sendiri.

''Tuan muda baru berumur satu tahun saat itu. Dan aku diberi kehormatan untuk menggendong tuan muda oleh ibu tuan saat foto tersebut diambil,'' cerita Helfre sambil sesenggukan.

''Mereka sungguh orang-orang yang baik.. Benar-benar baik,'' ucap Helfre yang diikuti raungan histeris dari mulutnya.

Franky tidak berkata apapun, bahkan untuk sekedar menenangkannya. Pemuda itu juga terlarut dalam perasaan yang aneh. Membuat matanya semakin lama semakin perih dan akhirnya berkaca-kaca.

Namun Franky segera dapat menguasai dirinya kembali. Ia menarik nafas panjang lalu membuangnya jauh-jauh. Melihat Helfre yang tidak lagi sehisteris beberapa menit lalu, Franky memberanikan diri untuk bertanya.

''Maaf, Tuan Helfre. Jika anda tidak keberatan, bisakah anda memperkenalkan diri anda?'' tanya Franky dengan sangat hati-hati.

''Oh, emm..yah. Tentu saja.'' jawab Helfre sambil mengusap sisa-sisa air matanya.

''Sebelumnya tuan muda, anda cukup memanggil saya Helfre saja tuan,'' lanjutnya.

''Baiklah. Tapi aku minta, anda juga cukup memanggil saya Franky saja,'' sahut Franky.

''Maaf, tetapi saya tidak bisa melakukannya. Didalam surat kontrak disebutkan bahwa kami harus memanggil tuan kami dengan nama tuan atau nyonya.''

''Surat kontrak apa?''

''Surat kontrak perjanjian kerja, tuanku.''

''Surat kontrak perjanjian kerja?''

''Yah. Saya adalah twigigt, anda ingat? Turun temurun kami bertugas untuk membantu para penduduk Afromesia. Maka untuk menjaga agar hak-hak kami tidak dilanggar, dibuatlah surat kontrak perjanjian kerja. Saya termasuk yang beruntung diantara lainnya. Karena sekitar dua puluh enam tahun yang lalu saya ditugaskan untuk membantu ayah tuan,''

''Jadi... Kau seperti pembantu, begitukah?''

''Sebenarnya kami lebih senang dipanggil penolong. Tapi pembantu juga sama saja artinya. Yah, seperti itulah kami,'' jawab Helfre.

Cuap-cuap

Entri Populer

The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku