gravatar

twigigt dan kakek setengah abad (3)

Tiga hari berlalu tanpa ada tanda-tanda kemunculan dari Amie. Franky bosan menunggu, bahkan ia mulai tidak yakin Amie akan datang ke rumah. Kini Franky lebih suka menghabiskan waktu untuk berdiam diri dikamar, setidaknya hal tersebut sedikit dapat menghiburnya. Meski dia tidak sendirian di rumah tersebut, namun sikap Helfre yang belum juga mau berbicara membuat Franky seperti sedang terkurung didalam goa besar yang sunyi.


Pagi ini sudah lebih dari seminggu Franky berada di desa Green Way. Ia mulai memikirkan neneknya. Apa dia marah besar pada Franky lantaran pergi tanpa berpamitan langsung dan hanya meninggalkan surat. Atau saat ini ia sangat sedih karena cucu satu-satunya tiba-tiba menghilang begitu saja. Franky sangat mengkhawatirkan neneknya. Pemuda itu sempat berpikir apa neneknya akan baik-baik saja tanpa dia.

Pintu terbuka, memecahkan lamunan Franky. Helfre berjalan masuk sambil membawa sarapan. Entah ada angin apa, Helfre akhirnya bebicara meski hanya sekedar mempersilakan Franky agar memakan sarapannya. Franky menanggapi hal positif tersebut dengan segera melahap sepiring daging asap yang berada di meja.

''Helfre, apa nenekku pernah datang kemari?'' tanya Franky ditengah makannya.

Helfre yang telah sampai diambang pintu kemudian menghentikan langkahnya. Menoleh kearah Franky dengan wajah yang tampak berpikir. ''Maksud tuan, ibu dari ibu anda?''

''Ya.''

''Seingatku pernah tuan, satu kali. Ketika ayah dan ibu anda menikah, beliau datang. Menginap dua hari dirumah ini,''kata Helfre. ''Saya banyak belajar dari beliau, terutama dalam hal memasak.''

Franky tersenyum. ''Nenek memang seorang koki yang handal,'' ucapnya sembari mengiris daging.

''Anda tidak jadi pergi ke makam, tuan?'' tanya Helfre.

Franky terdiam sejenak. ''Tentu saja jadi, Helfre,'' kata pemuda itu. ''Tapi masalahnya aku belum tahu tempat pemakaman berada dimana, dan Amie yang mau mengantarku pun sampai sekarang belum juga datang.''

''Kenapa anda tidak mengatakannya?'' kata Helfre menanggapi. ''Saya bisa mengantar tuan jika tuan mau.''

Franky seperti orang yang sedang tidur dan tiba-tiba disiram dengan air satu ember. Ia merasa bodoh karena baru menyadari. Tidak pernah terpikir dikepalanya tentang Helfre. Pria tua yang telah mengabdi untuk keluarga Franky selama puluhan tahun tersebut pastilah mengetahui dengan jelas dimana makam ibunya berada. ''Kalau begitu tolong antarkan aku ke makam ibu ya, Helfre,'' pinta Franky seraya meletakkan piring yang telah kosong keatas meja.

''Tentu, tuan,'' jawab Helfre sambil mengangguk pelan.

Beberapa saat kemudian, setelah Franky berganti baju mereka pun berangkat. Helfre tampaknya tidak begitu nyaman dengan pancaran sinar matahari pagi ini. Terlihat dari cara ia menarik kerudung pada jubah untuk menutupi kepala botak miliknya ketika mereka mulai berjalan dijalan setapak. Bagi Franky pagi ini sangat cerah, udaranya terasa begitu menyegarkan tubuh dan itu jelas jauh lebih baik daripada berada didalam rumah yang remang serta sedikit pengap.

Mereka berjalan dengan santai, beriringan layaknya kakek dan cucu yang sama sekali tidak mirip. Terus melangkah melewati monumen Avereos Green lalu berbelok hingga sampai ke pasar. Franky semakin bersemangat ketika melihat keramaian ditempat tersebut. Secuil rasa takut sempat menghinggapi pemuda itu. Bagaimana jika ditengah keramaian tersebut ada antek-antek Corffin yang sedang mengamati, menunggu dia lengah, lalu membunuhnya tiba-tiba. Tapi pikiran itu segera menguap begitu saja ketika ia sampai didepan sebuah kios cinderamata. Kios yang tidak begitu bersih namun memajang ratusan benda menarik mata pejalan kaki yang lewat. Mungkin neneknya perlu dibelikan oleh-oleh, pikir Franky yang seketika menjatuhkan pilihannya pada topi kebun beranyam rotan dengan hiasan beberapa bulu burung berwarna merah di sisinya.

Seperti mengerti apa yang ada didalam otak tuannya, Helfre bubu-buru mengingatkan Franky tentang tujuan mereka keluar rumah. Pemuda itu pun akhirnya melanjutkan perjalanan dengan sedikit rasa kecewa karena harus merelakan topi kebun tersebut tetap tergantung didalam kios yang kotor.

Setelah meninggalkan pasar, beberapa saat kemudian Franky dan Helfre menemui sebuah perempatan besar. Mereka berhenti di ujung perempatan. Helfre nampaknya berpikir sangat keras sebelum menentukan arah kemana mereka harus berbelok. Hal tersebut membuat Franky mulai merasa tak yakin dengan pria tua disampingnya tersebut. Dan ketidakyakinan Franky semakin besar saat jalan yang dipilih Helfre ternyata malah membawa mereka ke tepi hutan, bukan pemakaman.

Mereka kembali ke perempatan. Helfre kemudian memilih arah, kali ini dengan gugup. Meski tidak yakin, Franky tetap mengikuti. Di ujung jalan, tak ada satu nisan pun yang mereka jumpai. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah gandum, gandum, dan gandum. Ladang gandum didepan mereka membentang luas bagai permadani emas, menyuguhkan panorama yang indah. Namun bukan ini yang Franky cari.

''Helfre, kau yakin benar-benar tahu dimana tempat pemakaman?'' tanya Franky saat mereka berjalan kembali ke perempatan.

Helfre agak gugup. ''tentu ... tentu, tuan ... hanya saja ... desa ini telah ... banyak berubah,'' jawab Helfre terbata-bata.

''Memangnya kapan terakhir kali kau keluar dari rumah?''

''Saat pemakaman ibu tuan,'' jawab Helfre.

Pantas jika Helfre tidak mengingatnya, sudah lebih dari sepuluh tahun pria tua itu terus saja berada didalam rumah. Rasa kesal yang tadinya sempat muncul pada diri Franky kini berganti dengan rasa iba. Begitu setia pria tua itu menjaga rumah orangtuanya, bahkan hingga tidak sekali pun ia pernah keluar meninggalkan rumah tersebut.

Setiba di perempatan -untuk ketiga kalinya- Franky dan Helfre segera mengambil jalan yang tersisa. Franky merasa pernah melewati jalan tersebut. Dan benar saja, lima belas menit berselang mereka berdua sampai di depan penginapan milik Jo.

Franky tidak masuk ke penginapan, matanya sibuk mencari-cari sesuatu. Lalu ia menemukannya, sebuah toko sederhana dengan bunga-bunga eforbia dalam pot berjejer mengihasi bagian depannya dan sebuah papan nama bertuliskan ''Criss and Griss'' tergantung di atas bangunan. Pemuda itu berjalan mendekati toko, menengok bagian dalam lewat kaca besar yang terpasang didinding sebelum akhirnya membuka pintu.

Suara gemerincing lonceng-lonceng kecil mengiringi langkah Franky memasuki ruangan. Wanita dengan google las berlensa hitam muncul dari bawah bufet.

''Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?!'' wanita itu mengucapkan salam tanpa sedikitpun memandang kearah Franky. Ia terlihat sedang sibuk mengelas sebuah benda berbentuk piringan.

''Hai, Griss ...'' sapa Franky. ''Kau sedang sibuk ya?''

Grissilya menghentikan pengelasan, ia menoleh kearah Franky dan membuka google lasnya. ''Oh, rupanya kau Franky,'' seru Grissilya bersemangat. ''Maaf, aku kira si tua gila Jo.''

''Si tua gila Jo?''

''Sebenarnya tidak benar-benar gila sih,'' kata Grisslya sambil tersenyum. ''Tapi ... yah, kau juga tahu kan. Maksudku tentang leluconnya.''

Franky tersenyum. ''Iya, selera humornya memang agak aneh,'' tambahnya.

''Agak aneh? Dia itu sangat aneh, Franky,'' kata Grissilya. ''Pagi tadi saja, ia sudah lima kali memintaku memperbaiki tempat tidurnya. Hah, aku ini kan mekanik..bukan tukang kayu.''

Franky tertawa mendengar Grissilya bercerita tentang Jo. Bercerita tentang kesebalannya mendengar lelucon garing yang Jo lontarkan. Pemilik penginapan tersebut memang selalu mengeluarkan lelucon bodoh hampir disetiap kata-katanya. Franky sendiri juga pernah mendengar lelucon dari Jo, sehingga ia sedikit banyak mengerti yang dirasakan Grissilya.

''Oh, iya. Ada hal penting apa hingga menyempatkan datang kesini, Franky?'' tanya Grissilya yang kini sedang menutup piringan yang dilasnya tadi dengan lempengan logam berbentuk cakram.

''Ah, iya.. hampir lupa,'' kata Franky. ''Apa kau lihat Amie beberapa hari terakhir ini, Griss?''

''Amie.. belum, aku belum melihatnya. Benar juga, kemana dia?'' Grissilya baru menyadari bahwa dirinya juga belum melihat Amie dua hari terakhir. ''Terakhir bertemu waktu ia usai mengantarmu, brati tiga hari yang lalu.''

''Mungkin dia sedang keluar desa,'' kata Cristhoper yang tiba-tiba muncul dari balik pintu belakang toko. ''Mencari rempah-rempah seperti biasanya.''

''Ya, benar juga,'' kata Grissilya membenarkan dugaan kakaknya tersebut.

''Tapi ... apa biasanya juga sampai selama ini?'' tanya Franky.

''Tidak juga sih. Biasanya paling lama dua hari, itu pun pasti ditemani Neo,'' jawab Grissilya. ''Tunggu dulu. Berarti Amie tidak sedang mencari rempah-rempah aku rasa.''

''Kenapa?'' tanya Cristhoper.

''Karena aku bertemu dengan Neo, Zamora, serta Theodore dua hari yang lalu dan semalam juga,''

''Jika para kesatria masih ada di desa, mungkin Amie pergi sendirian kali ini,'' jelas Cristhoper. ''Aku lihat ia juga sudah semakin ahli menggunakan crownya. Jadi wajar kan kalau ia pergi sendiri saja.''

''Benar juga,'' ucap Grissilya. ''Tapi ngomong-ngomong, kenapa kau menanyakannya Franky?'' tanyanya dengan nada curiga. ''Jangan-jangan kau menyukai Amie ya?'' wanita tomboy tersebut bertanya dengan pandangan ingin tahu, membuat Franky menjadi gugup, membuat Helfre menahan keinginannya untuk tertawa, dan membuat Cristhoper terkejut aneh tak karuan.

''Ti...tidak. Tentu saja tidak,'' jawab Franky. ''Hanya saja tiga hari yang lalu Tn. Panini meminta Amie untuk mengantarkan aku ke makam ibuku. Namun sampai sekarang aku belum bertemu dengannya,'' jelas Franky yang disambut desah lega Cristhoper.

''Oh, kau mau pergi ke makam rupanya,'' kata Grissilya. ''Kalau begitu kau sudah hampir sampai, Franky.''

''Benarkah, dimana?''

''Di samping belakang gedung Kingswood.''

''Gedung Kingswood?''

''Bangunan besar dengan menara jam disampingnya yang berada di ujung jalan ini.'' jawab Grissilya. ''Kau tinggal ikuti jalan batu disamping gedung tersebut, nanti pasti sampai.''

Franky melihat keluar dan sekitar dua blok dari tempatnya berdiri ia menemukan bangunan yang dimaksud Grissilya. ''Bangunan disana itukah yang kau maksud, Griss?'' tanya Franky memperjelas.

Grissilya mengangguk. ''Iya, bangunan itu. Bukankah kau pernah kesana?''

''Kapan?''

''Kau datang kesini lewat gerbang Kingswood kan?'' tanya Grissilya. ''Gerbang itu ada didalam bangunan tersebut.''

''Oo... Jadi bangunan itu tempat gerbang Kingswood berada,'' kata Franky. ''Aku tidak terlalu ingat. Aku pingsan begitu sampai disini.''

Grissilya dan Cristhoper tersenyum. ''Yah, pengalaman pertama memang agak memusingkan,'' kata Grissilya. ''Bahkan Criss sampai pucat karena terus saja muntah-muntah waktu pertama kali melewati gerbang.''

''Hey... Setidaknya aku tidak menangis meraung-raung seperti orang kesurupan,'' seru Cristhoper membalas sindiran dari adiknya tersebut.

''Kepalaku terbentur waktu itu, Criss,'' elak Grissilya.

Melihat pertengkaran kecil dua bersaudara didepannya Franky berusaha menengahi. ''Criss, Griss, maaf mengganggu kalian, tapi aku sepertinya harus segera pergi.''

''Oh, iya. Maaf, Franky. Kami memang selalu bertengkar.''

''Yah.. mau bagaimana lagi, kakak adik memang begitu kan,'' tambah Cristhoper sambil nyengir.

''Kalian ini..'' kata Franky. ''Kalau begitu aku permisi ya,'' pamitnya. ''Terima kasih sudah memberitahu, Griss.''

''Sama-sama.''

Franky dan Helfre kemudian keluar dari dari toko dan mulai berjalan menuju tempat pemakaman umum yang disebutkan Grissilya.

Cuap-cuap

Entri Populer

The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku