gravatar

Twigigt dan kakek setengah abad (4)

Matahari hampir sejajar ubun-ubun ketika mereka berdua tiba di depan sebuah bangunan yang kental dengan nuansa britania pada abad pertengahan. Menatap kemegahan yang terpancar dari susunan kayu-kayu tua tersebut selama beberapa saat, kemudian dilanjutkan dengan menapaki jalan kecil yang berada disampingnya.




Jalan setapak tersebut membawa Franky dan Helfre ke sebuah area dengan pohon-pohon tinggi berdaun lebat mengelilinginya. Sinar matahari yang sebelumnya telah berhasil menyengat kulit Franky dengan sempurna kini terasa sangat bersahabat di tempat tersebut. Sedikitnya cahaya yang berhasil menerobos masuk dari balik celah rerimbunan pohon membuat area tersebut sangat teduh. Angin semilir kadang berhembus menambah kenyamanan tempat itu. Angin juga membuat pohon mengeluarkan suara gemerisiknya, saling bersahutan antara pohon satu dengan yang lain sehingga terdengar merdu ditelinga. Saat tiba ditempat tersebut Franky merasa seolah sedang disambut oleh sekumpulan pohon yang bernyanyi penuh keceriaan. Pemuda itu tampak sangat menikmati suasana yang tercipta hingga sempat melupakan jika yang ia datangi itu adalah area pemakaman umum desa Green Way.

''Tuan, anda tidak apa-apa?'' tanya Helfre dari kejauhan dengan suara parau yang dipaksakan berteriak.

Franky terhenyak. Ia kemudian mulai melemparkan pandangannya kesegala arah, mencari-cari keberadaan Helfre yang ternyata telah berdiri jauh didepannya. ''Oh, tidak apa-apa. Aku hanya terlalu asyik merasakan suasana disini,'' jawab Franky sambil berjalan mendekati Helfre. ''Inikah tempatnya?'' tanya Franky.

Helfre mengangguk. ''Mari saya antar, tuan,'' ajaknya kepada Franky. ''Tempat Nyonya besar ada dibagian dalam tempat ini.''

Keduanya pun segera masuk dengan Helfre berjalan didepan sebagai petunjuk arah. Lambat namun pasti, mereka melewati pintu gerbang besi yang berkarat dan penuh debu, menuruni empat buah anak tangga .lalu masuk lebih dalam melewati barisan nisan-nisan tua yang tertata dengan rapih.

Tidak lama kemudian, Helfre menghentikan langkahnya tepat didepan sebuah nisan yang terbuat dari batu marmer hitam. Franky menatap nisan itu sesaat, lalu beralih ke Helfre dengan wajah brtanya-tanya. Seolah mengerti maksud tuannya, Helfre mengangguk pelan. Anggukan yang cukup untuk memaksa jantung Franky kembali memompa darah dengan kecepatan tinggi. Perlahan pemuda jangkung itu mendekat dan duduk disamping nisan sambil terus menatap dengan pandangan sayu kearah nisan serta gundukan tanah didepannya.

TELAH BERISTIRAHAT DENGAN TENANG
PAHLAWAN ETEOS YANG PEMBERANI
Puan Dwi Asyarah
Lahir: 07-10-1968
Meninggal: 10-05-1997

Tulisan yang terukir indah dibagian tengah nisan tersebut membuat Franky tak kuasa menahan air matanya. Ia tidak berusaha sedikit pun menghapus air mata yang mengalir diwajahnya. Franky memang sama sekali tidak memiliki maksud untuk menutupi kesedihan yang dirasakannya kali ini. Dia biarkan seluruh kesedihan dan kerinduannya mengalir bersama air mata.

Dari nisan pandangan Franky kemudian berjalan ke gundukan tanah basah didepannya. Ia dapat merasakan wanita yang pernah melahirkannya terbaring beberapa meter dibawah gundukan tersebut. Tangan kurus Franky kemudian menyentuh dengan gemetaran gundukan tanah dingin itu seolah ingin menyapa dan memberitahu kepada ibunya bahwa dia -anakny- telah datang. Mata Franky seketika terpejam dengan air mata yang semakin deras mengalir, kepalanya tertunduk, dan tubuhnya mulai gemetaran. Pemuda itu hampir tidak kuat menahan gejolak rasa yang mengacaukan tubuhnya. Namun kemudian sesuatu menguatkannya. Sebuah telapak tangan berhiaskan jari-jari kurus berkeriput menggenggam bahu pemuda itu, memberi kehangatan aneh yang menentramkan, membuat pondasi ketabahan Franky yang rapuh dan hampir roboh menguat.

Pelan-pelan perasaan Franky membaik. Ia usap air matanya kemudian melanyangkan pandangan ke arah Helfre yang telah berada disampingnya. Memberi senyum kepada twigigt tua itu sebagai tanda bahwa ia sudah tidak apa-apa.

Helfre membalas senyum itu dengan melepaskan genggamannya di bahu Franky. Ia berdiri, menatap nisan majikannya sejenak lalu beralih ke pemuda yang duduk disamping makam. ''Anda memiliki orangtua yang sangat baik, tuan,'' kata Helfre.

''Terima kasih, Helfre,'' ucap Franky yang kemudian mengusap lembut batu nisan ibunya dan kembali menyentuh gundukan tanah sambil tersenyum. ''Terima kasih, bu.''

Setelah mengucapkannya, Franky segera bergegas bangun, mengambil segenggam bunga dari keranjang yang dipegang Helfre dan menaburkannya diatas gundukan makam. ''Aku tidak melihat kau tadi membawa keranjang itu, Helfre,'' kata Franky yang sempat tidak menyangka ketika Helfre menyodorkannya sebuah keranjang penuh potongan mahkota bunga didalamnya.

''Saya menyembunyikannya dibalik jubah, tuan,'' jawab Helfre.

Ketika seluruh ritual ziarah telah mereka lakukan, Franky menghela nafas panjang. ''Mari kita pulang, Helfre,'' kata Franky yang dibalas dengan anggukan sopan dari Helfre.

Mereka pun mulai berjalan meninggalkan makam. Kini Franky yang berjalan didepan Helfre, melewati barisan makam-makam tua yang mungkin saja juga merupakan pahlawan eteos seperti ibunya, menaiki empat buah anak tangga dengan cepat sebelum akhirnya keluar melalui pintu gerbang besi berkarat. Saat hendak menyusuri jalan setapak yang akan membawanya kembali ke desa, mata Franky menangkap sekelebat makhluk berlari diantara pepohonan.

''Apa itu tadi, Helfre?'' seru Franky sambil masih mengamati pepohoan dimana ia melihat seekor makhluk brlari dengan cepat.''Kau melihatnya juga kan? Makhluk tadi.. yang berlari dengan sangat cepat,'' Franky terdengar antara penasaran dan bersemangat. ''Helfre..? Helfre..? Helfre, kau mendengarku tidak sih..?'' panggil Franky berulang kali karena Helfre tak juga menyahut. Namun saat memalingkan pandangannya kebelakang, Franky tidak melihat Helfre.

Pemuda itu kebingungan, mata biruny menjelajah ke setiap sisi tempat itu namun Helfre belum juga terlihat. Dia kembali masuk ke pemakaman untuk memastikan apakah Helfre sedang mengambil barangnya yang tertinggal disana. Namun di pemakaman pun tidak terlihat sosok tua berjubah yang dikenalinya. Franky mulai kesal. Ia berseru memanggil twigigt tua itu berulang kali dengan kasar. Tak ada suara parau yang menyahut, hanya gemerisik pohon yang terdengar. Setelah Franky yakin bahwa pelayannya telah meninggalkan dirinya seorang diri ditempat itu, dia pun memutuskan untuk berjalan menyusuri jalan setapak menuju desa -dengan perasaan sebal.

Beberapa saat kemudian Franky kembali melihat sekelebat makhluk yang ia lihat tadi ketika ia menapaki jalan ke desa. Tidak secepat waktu pertama kali terlihat, sosok itu berjalan perlahan, tepatnya terpincang-pincang. Meski tidak begitu jauh, namun sosok bertongkat tersebut tidak dapat terlihat jelas oleh Franky.

Didorong rasa penasaran, pemuda itu mengikuti sosok hitam didepannya. Mereka berjalan semakin jauh kedalam hutan. Lalu sesuatu terjadi, sosok itu menghilang dibalik pohon. Franky yakin ia masih melihatnya berjalan pincang diantara semak beberapa detik sebelumnya. Namun saat melewati sebuah pohon, sosok itu lenyap. Karena sudah kepalang tanggung Franky pun mencari sosok itu, terus mencarinya hingga kedalam hutan.

Terus menerus berjalan membuat Franky tidak menyadari bahwa ia telah semakin jauh meninggalkan area pemakaman. Pohon-pohon tinggi menemani setiap langkah pemuda itu, beberapa binatang menyerupai rusa kadang tertangkap mata Franky namun tak dihiraukannya. Entah kenapa ia menjadi sangat penasaran terhadap sosok hitam yang dilihatnya tadi.

Setelah beberapa lama berjalan Franky keluar dari hutan dan tiba disebuah danau. Ia kemudian mendekati danau tersebut, dan mengambil air beningnya untuk membasuh muka. Air danau itu terasa dingin serta menyejukkan meski matahari diatasnya tampak sangat bersemangat menyambut siang. Selesai membasuh muka, pemuda itu duduk di atas batu di tepi danau untuk sekedar meluruskan kaki-kaki kurusnya. Diatas batu trsebut, Franky mulai menyadari bahwa ia mungkin telah berjalan terlalu jauh dari desa. Namun kemudian pikirannya teralihkan, ia melihat -tidak begitu jelas- sesuatu menyelinap masuk ke balik semak disamping tempatnya duduk. Franky menghampiri semak tersebut dengan perlahan dan hati-hati. Pemuda itu tidak berpikir bahwa yang ia lihat adalah seekor kelinci karena meski hanya melihat sekejap dan tidak begitu jelas, Franky yakin ukurannya jauh lebih besar daripada kelinci.

Franky bertambah yakin jika ada sesuatu dibalik semak-semak tersebut ketika ia melihat semak itu mulai bergerak-gerak sendiri. Tangan Franky perlahan dijulurkan kedepan dan dengan sangat hati-hati menyibak semak tersebut. Kemudian dia julurkan pula kepalanya setelah sibakan yang dibuatny dirasa cukup memberi ruang untuk melihat.

Tak ada apapun dibalik semak tersebut selain patahan ranting-ranting kecil yang berserakan. Rasa penasaran dalam dirinya secepat kilat berubah menjadi sebuah kekecewaan yang sangat besar. Namun kemudian, sesuatu menangkap dan mencengkeram erat bahu Franky dari belakang....

~to be continued~
*halah..hehe see you next time... :)

Cuap-cuap

Entri Populer

The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku